Karya : Muhammad A'lal Hikam
Belakangan ini, dunia tafsir dikejutkan dengan penafsiran baru (Hermeneutika). Tak luput dan tak lain hal ini berakar dari paham yang berasumsi, segala sesuatu bisa dijangkau menggunakan akal (Liberalisme). “manusia adalah satu-satunya standart bagi segala sesuatu” ujar Protagoras.
Kata Hermeneutika secara etimologi diambil dari kata Yunani “Hermenium” yang berarti penjelasan, penafsiran atau penerjemahan. Jika dilihat secara historical, Hermeneutika diambil dari nama dewa metologi Yunani kuno bernama Hermes. Tugas darinya ialah, menerjemahkan pesan-pesan dari gunung Olympus ke dalam bahasa manusia.
Istilah Hermeneutika dipergunakan oleh Teolog Yahudi dan Kristen. Pada saat itu, mereka terombang ambing dengan keoutentikan Bible. Apakah Bible kalam Tuhan atau bukan? Keraguan ini di latar belakangi daripenuan teks bible kuno yang berbeda gaya dan kosa katanya. Sehingga para pakar bible menyepakati, butuh Hermeneutika untuk memahami teks-teks bible tersebut.
Dari berbagai uraian di atas bisa kita pahami bahwa, Hermeneutika secara umum adalah metode untuk menafsirkan atau menjelaskan teks yang abstrak. Jikalau meminjam istilah Friedrich Scheleiermacher, tugas dari Hermeneutika adalah untuk memahami teks “sebaik atau lebih baik dari pada pengarangnya."
Sedangkan Tafsir, Jika ditalaah secara kebahasaan, istilah ‘tafsir’ sebetulnya merujuk pada kata fasrun, bermakna ibnadah (menjelaskan), kasyf (menyingkap), dan izhharul-ma’na (memperlihatkan makna).
Kemudian lebih lanjutnya tafsir diartikan oleh Ibn Manzhur dalam kitabnya Lisanul-‘Arab, adalah kasyful-murad ‘anil-lafzhil-musykil; mengungkap maksud sebuah lafazh yang tidak jelas. Maka dari pengertian tadi, Syed Naquib Al-Attas mengemukakan bahwa tafsir merupakan kunci utama ilmu dalam Islam.
Sederhananya, tafsir (ilmu tafsir al-Quran) adalah suatu metode khusus yang dijadikan alat untuk menjelaskan atau menggungkap makna (isi) dalam Al-Quran. Ini yang membedakan Tafsir dengan Non-tafsir.
Para pemikir islam liberal (terpengaruh barat) menyatakan bahwa Hermenutika masuk pada tafsir bi-ra'yi (menafsirkan Al-Quran menggunkan akal). Penafsiran bi-ra'yi bisa digunakan dengan cara berijtihad (mengerahkan semua pengetahuannya ubtuk memecahkan suatu masalah).
Meskipun dalam tafsir bi-ra'yi menggunakan akal, tetapi tetapi bersandar pada argumentasi dalil. Nashruddin menjelasakan Ijtihad dalam tulisannya, dengan merujuk Wahbah az-Zukhaili yang mengutarakan bahwa, Ijtihad merupakan sebuah usaha yang ekstra keras dalam mengistinbath (menetapkan) hukum dengan berdasar pada dalil-dalil yang tafshiliyyah (rinci/menyoroti kasus per kasus hukum) dan zhanniyyah (tidak qath’i maknanya).
Padahal jika meninjau bagaimana hakikat hermeneutika; bahwa hermeneutika selamanya berkonsentrasi untuk memahami teks, karenanya semua teks dianggap sama baik kitab biasa atau kitab suci sekalipun, dan menolak segala bentuk kepastian(skeptik dan relatif).
Sedangkan al-Qur’an bukan teks. Dan pendekatan Hermeneutik yang bertumpu pada sifat skeptis tidak bisa digunakan pada Al-Quran yang berupa kalamullah (wahyu). alhasil kebenaran yang dihasilkan oleh Hermeneutik relatif, dalam artian yang benar menurut sebagian orang, mungkin salah menurut orang lain.
Hal ini yang membedakan antara ilmu tafsir dengan hermeneutika. Dalam proses penafsirannya ilmu tafsir selalu berangkat dari keyakinan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah Swt. sehingga kebenaran memungkinkan dan pasti dapat ditemukan, sedangkan titik berangkat hermeneutika bukan dari keyakinan melainkan dari suatu kesangsian.
Juga, Al-Quran tidak mempunyai masalah dalam bahasa maupun teks aslinya. Al-Quran tetap berbahasa Arab dan Teksnya tak ada satuhurufpun yang berubah dari pertama detanzilkan (diturunkan) pada Nabi Muhammad S.A.W lewat perantara malaikat Jibril, kemudian ditulis pada masa sayyidina Utsman bin affan R.A sampai sekrang tak ada ubahnya.
Maka dari itu, pemafsiran Al-Quran dan Hermeneutika tidak bisa disatukan.. Seperti ujar Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, guru besar pemikiran Islam di Institut Internasional Pemikiran dan Peradaban Islam (ISTAC) di Malaysia, menyatakan, “Sesungguhnya penafsiran Al-Qur’an sama sekali tidak boleh disamakan dengan hermeneutika
Artikel yang menarik dan informatif! Teruslah menulis dan berbagi pengetahuan Anda dengan pembaca lainnya. Bravo
BalasHapusTerimkasih kak, kami akan terua berbagi. Jikalai dari kakak ingin berbagi pengetahuan monggo ngak papa juga 😁
BalasHapus