Karya : Muhammad A'lal Hikam
Pendidikan dianggap sebagai cara paling ampuh untuk melatih makhluk berakal budi agar menemukan jati diri. Oleh karena itu negara punya peran vital untuk mendidik anak-anak bangsa melalui sistem pendidikan. "pendidikan sangat penting dalam rangka merubah dan membaharui masyarakat," itu kata Dewey. Tidak hanya Dewey, Ki Hajar Dewantara pun juga memerhatikan pendidikan negara kita yakni Indonesia.
Di negara dengan penduduk paling banyak nomor empat di dunia ini pendidikan sangat penting dan diperhatikan oleh pemerintah dari masa ke masa. Mengingat 2 Mei 1984, H.M. Soeharto, sosok presiden kedua Indonesia kala itu memutuskan program wajib belajar selama enam tahun. Tepat di tahun 1998 keputusan tersebut berubah setelah disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 yang mewajibkan program belajar ditambah menjadi sembilan tahun.
Ternyata kewajiban itu masih kurang, pemerintah kembali merencanakan ingin menambah tiga tahun lagi, menjadi 12 tahun. Melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) yang mewajibkan peserta didik menempuh belajar sampai lulus sekolah menengah atas (SMA) dimulai sejak menjajaki pendidikan sekolah dasar (SD). Dengan alasan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai mana yang tertera di Undang-Undang Dasar 1945.
Alasan itu sudah menjadi cita-cita pendidikan kita, sering kali digaungkan. Kini, pemerintah punya motor baru—melalui RUU Sindiknas—untuk mencapai cita-cita tersebut. Sementara RUU Sindiknas mengajak kita—sebagai perserta didik—untuk berusaha sadar dan terencana dalam proses pembelajaran agar bisa mengembangkan potensi diri kita. Baik dari keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.
Namun faktanya tidak demikian. Mengapa? Karena sistem pedidikan di Indonesia terlalu kaku dan otoriter. Gara-gara pendidik cenderung mendikte peserta didik dalam proses pembelajaran berlangsung sehingga sangat sulit untuk mengembangkan potensinya. Karena terkungkung dan tidak bebas. Seandainya Ki hajar dewantara masih hidup, pasti tidak sepakat. “karena pendidikan seharusnya membebaskan manusia secara lahir maupun batin” itu kata bapak pendidikan kita.
Di Amerika saya bertemu Jane Addams, juga menyinggung terkait pendidikan. Jane beranggapan jikalau pendidikan seperti itu memang sengaja dibentuk untuk memenuhi keperluan-keperluan si pembuat sistem yakni pemerintah. Supaya lulusan SLTA atau perguruan tinggi semata-mata hanya mengisi kursi kosong yang telah disediakan oleh pemerintah sebagai pembentuk sistem. Maka tak heran jika pendidikan indonesia masih tergolong rendah.
Terbukti setelah melihat hasil survei pemeringkatan word population reviwe 2021 yang menempatkan negara ini pada peringkat ke-54 dari 78 negara yang masuk pemeringkatan pendidikan di dunia. Survei ini meliputi sistem pendidikan, minat peserta didik untuk mengenyam bangku pendidikan dan ketersediaan fasilitas.
Oleh sebab itu Mendikbutristek tak tinggal diam. Lembaga pemerintahan ini justru menawarkan solusi dengan menerapkan kurikulum merdeka tepat pada Februari, tahun lalu. Enam bulan setelah itu, bulan Agustus, baru pemerintah memperioritas RUU sindiknas segera dibahas. Untuk memperkuat program kurikulum itu.
Kurikulum merdeka ini diharap bisa menjawab persoalan yang diatas. Dengan membebaskan perserta didik agar dapat memilih sesuai dengan kemampuannya. Lalu untuk sang pendidik berhak memberikan jalan—tetapi tidak mendikte—peserta yang sesuai dengan kebutuhan dan minat bakatnya.
Keselarasan kurikulum merdeka dengan tujuan RUU Sindiknas membuat Jhon Dewey, tokoh pendidikan ini, merasa bangga. Sebab kedua hal ini merupakan sebuah tujuan pria kelahiran Amerika itu. Yakni membebaskan peserta didik dalam pembelajaran untuk mengembangkan potensinya.
Berawal dari kegelisahan Dewey melihat kondisi pendidikan di Amerika kala itu, sama persis dengan sistem pendidikan kita, mengkungkung peserta didik dalam pembelajaran. Dari pengaruh Charles Darwin tentang teori evolusinya, maka Dewey menganggap pendidikan harus ‘berkemajuan’ supaya peserta didik memahami esensi dari kehidupannya.
....Ketika Mind (akal) berperan sebagai instrumen untuk menata sekaligus memahami pengalaman-pengalaman manusia. “karena pengalaman adalah Key concept (kunci untuk memahami hidup),” kata Dewey.
Jhon dewey tidak berjuang sendirian untuk memperjuangkan kebebasan peserta didik. Ia bersama Jane Addams, Paulo Fereire dan Henry Giroux. “Karena pembebasan untuk peserta didik akan bisa memjawab tantangan yang diajukan oleh dunia yang masih dalam proses ini,” itu kata Henry Giroux.
Meskipun pemerintah telah membentuk kurikulum merdeka dan RUU sindiknas sebagai jawaban dari problem yang ada. Namun realita yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia masih didominasi sistem otoriter. Terbukti dalam pendidikan kita sampai detik ini masih mendewakan sekolah formal.” Multa sad non multum (banyak sekali mereka tahu akan tetapi sedikit yang mereka paham)” kata Y.B Mangunwijaya.
Jikalau pemerenitah tak bisa menerapkan nilai-nilai pokok dalam dua hal dengan satu tujuan tersebut secara maksimal, yakni membebaskan peserta didik dalam pembelajaran untuk mengembangkan potensinya, akan tetapi tetap berkubadayaan timur yang luhur maka sampai kapan pun pendidikan di Indonesia tetap akan terpuruk dan tak akan maju. Pemerintah akan gagal mewujudkan cita-cita para perintis sekaligus pejuang pendidikan Indonesia, teristimewa Ki Hajar Dewantara
Artikel yang bagus! Saya terkesan dengan cara Anda mengulas topik ini dengan sangat jelas dan terperinci. Anda membantu saya memahami topik yang kompleks dengan mudah.
BalasHapusTerimkasih kak🙏
BalasHapus